Posted in Ceritaku, Nonfiksi

Persalinan (2)

Menurut perhitungan, kandunganku genap 40 minggu di tanggal 22 Januari. Prediksi lahir bisa sebelum atau setelah tanggal 22, ya intinya sekitaran akhir Januari. 22 Januari 2021 jatuh pada hari Jumat. Aku sudah menanti-nanti dan mempersiapkan diri, ya deg-degan juga, sih. Aku pun telah meminta suami cuti kerja pada hari Jumat.

21 Januari
Tidak ada tanda-tanda persalinan yang kurasakan. Katanya, di trimester akhir akan sering muncul kontraksi palsu. Namun, aku tidak sekalipun merasakan nyeri di perut. Aku jadi bingung sendiri kontraksi itu bagaimana rasanya, apa aku yang kurang sensitif dengan rasa sakit sehingga gak kerasa. Sepanjang Januari, aku sering kali menyimulasikan persalinan yang akan kuhadapi dalam imajinasiku sendiri. Aku agak khawatir dengan intervensi provider–mengambil tindakan medis tanpa persetujuanku. Ya khawatir aja, seandainya diriku ditangani oleh tenaga kesehatan yang tidak pro terhadap lahiran alami dan ramah ibu.

Aku tidak akan punya kekhawatiran seperti ini jika diriku bersalin di tempat yang sudah kurencanakan sebelumnya–di tempat bidan yang biasa kukontrol kandungan. Singkat cerita, karena satu dan lain hal, kuputuskan melahirkan di puskesmas saja.

22 Januari
Aku masih tidak merasakan mules apapun. Tidak ada tanda-tanda persalinan yang kurasakan. Ya, sepertinya akan lewat dari tanggal prediksi. Aku masih santai walaupun sudah melewati HPL. Belajar dari pengalaman mertuaku yang melahirkan iparku, walau 10 bulan mengandung tetap bisa persalinan normal dan lancar. Kuncinya santai aja, percaya diri, percaya takdir kalau sudah waktunya ya nanti brojol. Ditambah dengan saran, berhenti kontrol setelah melewati HPL. Ini tidak perlu ditiru, tapi aku mengikuti langkah yang sama dengan kesadaran akan risikonya.

Aku pun memang enggan memeriksakan kandungan lagi karena gak mau disuruh induksi lalu caesar. Selama tidak ada pendarahan atau nyeri hebat, kuyakini kandunganku baik-baik saja. Daripada disuruh induksi dan ditakut-takuti nanti anu lah ini lah kalau tidak segera melahirkan, mending aku induksi alami saja dan memberdayakan diri agar mampu menjalani persalinan yang kuharapkan.

Satu hal lagi yang membuatku sangat santai menunggu hari persalinan, aku mengharapkan diriku melahirkan setelah suamiku gajian. Jadi, selama suamiku belum gajian artinya masih belum waktunya brojol, so kalem ae aku tuh~ Kalau prediksi dokter dan bidan adalah tanggal 22-24 Januari, maka prediksiku–juga harapanku–adalah setelah tanggal 28.

29 Januari
Aku meminta suami cuti kerja lagi pada hari jumat berikutnya, 29 Januari. Masih tidak ada tanda-tanda persalinan, aku juga tidak merasakan nyeri apapun. Walau begitu, aku sudah was-was karena suamiku sudah gajian artinya persalinan sebentar lagi. Sebelumnya, janinku sudah seringku ajak ngobrol kalau mau brojol habis ayah gajian aja.

30 Januari
Setelah subuh menjelang pagi perutku mules, sakit perut. Mules kayak pengen BAB. Bolak-balik kamar mandi tapi si pup enggak keluar-keluar. Aku sempet bingung, ini tuh mules murni karena mau BAB atau memang lagi kontraksi?
Setelah sekian kalinya bolak-balik kamar mandi tanpa hasil, akhirnya kuyakinkan diri kayaknya emang mau BAB tapi pup-ku emang susah keluar karena terlalu besar dan keras. Agak susah memang ngeden pup disaat kondisi fisik lagi hamil gede–tinggal nunggu waktu gini. Aku ragu-ragu, khawatir yang keluar malah bayi.

Alhamdulillah, lega banget saat pup sudah keluar. Aku melanjutkan tidur lagi. Kirain permasalahan selesai setelah pup, eh mules lagi. Kurasakan perut menegang, kencang, mules, pokoknya gak nyaman gitu. Kupikir mules mau BAB, bolak-balik kamar mandi lagi. Akhirnya, kusadar ini kontraksi. Mules – berhenti – mules – berhenti, begitu terus.

Gak gimana-gimana, sih, sakitnya. Cuman, kerasa banget gak nyamannya. Kupakai jalan muterin seisi rumah. Yaudah, kupaksa diri buat tidur simpan tenaga. Ya, tidur gak tidur, sih. Sempat tertidur tapi kebangun karena perut gak enak banget rasanya.

Tadinya sepakat ke Puskesmas setelah magrib aja, tapi karena habis asar interval kontraksi makin pendek dan kenceng, gak tahan nunggu magrib.

30 Januari – Sore
Berangkat ke Puskesmas naik becak. Dari jauh-jauh hari rencanaku pengen jalan kaki aja, itung-itung biar banyak gerak menjelang persalinan. Nyatanya, jalan kaki aja aku gak sanggup hahaha. Kalau udah kontraksi gak bisa sok-sokkan kuat.
Sampai di Puskesmas diperiksa, ternyata, ada indikasi pre-eklampsia. Bidan Puskesmas tidak berani ambil risiko karena usia kandunganku 41 minggu lebih sehari. Dirujuklah aku ke rumah sakit agar kalau terjadi apa-apa bisa cepat ambil tindakan medis (baca: operasi).

Cek bukaan sudah bukaan empat.

30 Januari – Magrib
Selepas magrib diriku dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans, ditemani mertua dan suami. Rumah sakitnya lumayan penuh, karena termasuk salah satu rumah sakit rujukan covid. Cukup lama di IGD karena harus melewati beberapa pemeriksaan terlebih dahulu sekaligus menunggu bukaan lengkap juga, sih. Setelah bukaan lengkap barulah dipindahkan ke ruang bersalin.

30 Januari – Malam
Jam menunjukkan pukul 10 aku dipindahkan ke ruang bersalin. Sayangnya tidak boleh ditemani suami karena alasan protokol kesehatan rumah sakit. Hanya berdua, aku dan bidan yang menanganiku. Ternyata, proses bersalin tidak sedramatis dalam film-film ataupun sinetron di tipi. Tidak semenegangkan yang kubayangkan juga. Aku masih sempat mengobrol dengan bidan diawal proses bersalin. Bahkan aku dibiarkan ngeden jongkok sendiri. Benar-benar santai sekali. Karena tak kunjung mbrojol, akhirnya ia pun turun tangan.

Singkat cerita, bayiku pun lahir. Sempat gak nyangka juga, sih, tahu-tahu udah keluar. Kok gak kerasa? Dari info kelas bersalin yang kuikuti, pas kepala bayi crowning, itu rasanya pedas-pedas panas. Tapi aku gak ada merasakan sakit atau kesakitan seperti yang diinfokan itu. Alhamdulillah..

Halo, namaku Althaf.

4 thoughts on “Persalinan (2)

  1. Masya Allah, Alhamdulillah, Barakallahu laka fil mauhuubi laka wa syakartal waahiba wa balagho asyuddahu waruziqta birrohu

Leave a comment