Posted in Nonfiksi

Dilema Budaya

“apakah mendidik anak sesuai zamannya dapat diartikan boleh meninggalkan budaya yang melekat pada si orang tua?”
⁣⁣
Satu sisi ada nilai menarik dari budaya itu sendiri. Apalagi, jika itu adalah hal yang bisa terbilang baik. Dilema memang, karena budaya adalah produk masa lalu, kalau tidak diterapkan, ya, akan musnah. Namun, di sisi lain, bisa saja itu out of date. Bukan bermaksud mengatakan itu adalah kuno, tapi memang sudah tidak relevan lagi, mengandung nilai kebaikan tapi belum tentu bisa diterapkan. ⁣⁣
⁣⁣
Misal, mengenai kesopanan. Karena aku tidak dididik dengan nilai kesopanan yang ada dalam budaya jawa, tentu perspektif kesopananku bisa berbeda dengan pasanganku yang notabene berbudaya jawa. ⁣⁣
⁣⁣
Dalam beberapa kasus, aku senang dengan adanya nilai kesopanan dalam budaya jawa tsb. Perlu digarisbawahi, nilai kesopanan yang dimaksud adalah ukuran kesopanan pada suatu perkara (sopan banget, sopan aja & gak sopan). Hal itu memberikan kejelasan dalam berlaku. Tapi di beberapa kasus lain, bukan sesuatu yang krusial tapi bernilai tidak sopan. Sulit dipahami hal sepele pun bisa bernilai gak sopan. ⁣⁣

Ambil contoh, misalnya di jalan atau perempatan jalan ada segerombolan orang nyangkruk–sebutan lagi duduk-duduk gitu. Sebagai pengguna jalan jika melewati orang nyangkruk harus permisi demi kesopanan, jika tidak, maka dianggap tidak sopan. Aku dibesarkan di lingkungan dengan batas-batas kesopanan yang cukup luas, sehingga terkadang membuatku gerah jika dibatasi.
Aku bisa maklum, namanya juga perbedaan budaya dan aku menetap di tanah yang memiliki standar nilai kesopanan berbeda dengan tanah kelahiranku.

Namun, kalau dipelajari bisa dimengerti, sih, kenapa begitu, budaya yang terbentuk dari pengelompokkan kasta sosial (status) menjadi faktornya. Disaat zaman sudah tidak memandang status (sosial-senioritas), penerapan nilai kesopanan yang mengacu pada senioritas menjadi tidak relevan, iya, kan? ⁣⁣

Emangnya mau sampai kapan menilai orang lain tidak sopan hanya karena ia berjalan tidak permisi di depan kita? Jalanan–ruang publik–lebar begitu dan tidak sedang berimpit-impitan.

Masih ada contoh-contoh lain, sih, tapi diriku sedang malas menulis panjang.

Leave a comment